Yang Ada Dalam Bab II Penelitian
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.     
Kajian Teori
1.    Konsep
Supervisi Akademik
a.    Pengertian Supervisi Akademik
Dalam
pedoman pelaksanaan kurikulum Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah (Depdikbud,
1975), pengertian Supervisi dirumuskan sebagai bantuan yang diberikan kepada
seluruh staf sekolah untuk mengembangkan situasi belajar-mengajar yang lebih
baik. 
Burton
dan Bruckner (dalam Poerwanto, 2003: 14) mengembangkan definisi sebagai
berikut: “Supervisi merupakan pelayanan yang bertujuan untuk mempelajari dan
memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
anak”.  
Acheson
dan Gall (dalam Poerwanto, 2003: 17) merumuskan bahwa, “Supervisi merupakan
bantuan kepada guru untuk memperkecil kesenjangan antara tingkah laku mengajar
yang nyata dan tingkah laku mengajar yang ideal”. Sedangkan Alfonso dan
kawan-kawan mengemukakan: “Supervisi pengajaran adalah perbuatan yang secara
langsung mempengaruhi perilaku guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pelaksana proses belajar mengajar dan melalui pengaruhnya tersebut bertujuan
untuk mempertinggi kualitas belajar murid demi pencapaian tujuan organisasi
(sekolah)”. Berdasarkan batasan-batasan yang dikemukakan oleh para ahli maka di
simpulkan bahwa supervisi pengajaran merupakan usaha atau kegiatan pemberian
dan bimbingan profesional kepada guru untuk meningkatkan kemampuan dan
ketrampilan mengajarnya.
Dikaitkan
dengan kegiatan akademik, supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan
membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran demi
pencapaian tujuan pembelajaran Glickman (1981).  Sementara itu, 
Daresh (1989) menyebutkan bahwa supervisi akademik merupakan upaya membantu
guru-guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran. Dengan
demikian,  esensi supervisi akademik itu sama sekali bukan menilai unjuk
kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran, melainkan membantu guru
mengembangkan kemampuan profesionalismenya. 
Meskipun
demikian, supervisi akademik tidak bisa terlepas dari penilaian unjuk kerja
guru dalam mengelola pembelajaran. Apabila di atas dikatakan, bahwa supervisi
akademik merupakan serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan
kemampuannya mengelola proses pembelajaran, maka menilai unjuk kerja guru dalam
mengelola proses pembelajaran merupakan salah satu kegiatan yang tidak bisa
dihindarkan prosesnya (Sergiovanni, 1987). 
Penilaian
unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran sebagai suatu proses
pemberian estimasi kualitas unjuk kerja guru dalam mengelola proses
pembelajaran, merupakan bagian integral dari serangkaian kegiatan supervisi
akademik. Apabila dikatakan bahwa supervisi akademik merupakan serangkaian
kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya, maka dalam pelaksanaannya terlebih
dahulu perlu diadakan penilaian kemampuan guru, sehingga bisa ditetapkan aspek
yang perlu dikembangkan dan cara mengembangkannya.
Sergiovanni
(1987) menegaskan bahwa refleksi praktis penilaian unjuk kerja guru dalam
supervisi akademik adalah melihat realita kondisi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan, misalnya:  Apa yang sebenarnya terjadi didalam
kelas? Apa yang sebenarnya dilakukan oleh guru dan murid-murid didalam kelas?
Aktivitas-aktivitas mana dari keseluruhan aktivitas di dalam kelas itu yang berarti
bagi guru dan murid?  Apa yang telah dilakukan oleh guru dalam mencapai
tujuan akademik? Apa kelebihan dan kekurangan guru dan bagaimana cara
mengembangkannya? 
Berdasarkan
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini akan diperoleh informasi mengenai
kemampuan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Namun satu hal yang perlu
ditegaskan di sini, bahwa setelah melakukan penilaian unjuk kerja guru tidak
berarti selesailah tugas atau kegiatan supervisi akademik, melainkan harus
dilanjutkan dengan perancangan dan pelaksanaan pengembangan kemampuannya.
Dengan demikian, melalui supervisi akademik guru akan semakin mampu
memfasilitasi belajar bagi murid-muridnya. Alfonso, Firth, dan Neville (1981)
menegaskan “Instructional supervision is here in defined as: behavior
officially designed by the organization that directly affects teacher behavior
in such a way to facilitate pupil learning and achieve the goals of
organization”.
Menurut
Alfonso, Firth, dan Neville, ada tiga konsep pokok (kunci) dalam pengertian
supervisi akademik, yaitu:
1)  
Supervisi akademik harus secara langsung
mempengaruhi dan mengembangkan perilaku guru dalam mengelola proses
pembelajaran. Inilah karakteristik esensial supervisi akademik. Sehubungan
dengan ini, janganlah diasumsikan secara sempit, bahwa hanya ada satu cara
terbaik yang bisa diaplikasikan dalam semua kegiatan pengembangan perilaku
guru. Tidak ada satupun perilaku supervisi akademik yang baik dan cocok bagi
semua guru (Glickman, 1981). Tegasnya, tingkat kemampuan, kebutuhan, minat, dan
kematangan profesional serta karakteristik personal guru lainnya harus
dijadikan dasar pertimbangan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan
program supervisi akademik (Sergiovanni, 1987 dan Daresh, 1989).
2)  
Perilaku supervisor dalam membantu guru mengembangkan
kemampuannya harus didesain secara ofisial, sehingga jelas waktu mulai dan
berakhirnya program pengembangan tersebut. Desain tersebut terwujud dalam
bentuk program supervisi akademik yang mengarah pada tujuan tertentu. Oleh
karena supervisi akademik merupakan tanggung jawab bersama antara supervisor
dan guru, maka alangkah baik jika programnya didesain bersama oleh supervisor
dan guru.
3)  
Tujuan akhir supervisi akademik adalah agar
guru semakin mampu memfasilitasi belajar bagi murid-muridnya.
b.   Tujuan Supervisi Akademik
Secara umum tujuan supervisi
pengajaran adalah sebagai berikut: 
1)  
Meningkatkan
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan belajar-mengajar.
2)  
Mengendalikan
penyelenggaraan bidang teknis edukatif di sekolah
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan.
3)  
Menjamin
agar kegiatan sekolalah berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku
sehingga segala sesuatunya berjalan lancar dan diperoleh hasil yang optimal.
4)  
Menilai
keberhasilan sekolah dalam pelaksanaan tugasnya.     
5)  
Memberikan
bimbingan langsung untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kekilafan serta
membantu memecahkan masalah yang dihadapi sekolah sehingga dapat dicegah
kesalahan dan penyimpangan yang lebih jauh (Suprihatin, 1989: 305).
Supandi (1986: 252), menyatakan
bahwa ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi dalam proses pendidikan,
yaitu: 
1)  
Perkembangan kurikulum merupakan gejala
kemajuan pendidikan. pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang
terus-menerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru
senantiasa harus berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya
pendidikan berdasarkan kurikulum dapat terlaksana secara baik.
2)  
Pengembangan personel, pegawai atau
karyawan senantiasa merupakan upaya yang terus-menerus dalam suatu organisasi.
engembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan informal.
Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan melalui
penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya. Sedangkan pengembangan
informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan secara
mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan seperti
kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya.
Tujuan
supervisi akademik adalah membantu guru mengembangkan kemampuannya mencapai
tujuan pembelajaran yang dicanangkan bagi murid-muridnya (Glickman, 1981).
Melalui supervisi akademik diharapkan kualitas akademik yang dilakukan oleh
guru semakin meningkat (Neagley, 1980). Pengembangan kemampuan dalam konteks
ini janganlah ditafsirkan secara sempit, semata-mata ditekankan pada
peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengajar guru, melainkan juga pada
peningkatan komitmen (commitmen) atau kemauan (willingness) atau
motivasi (motivation) guru, sebab dengan meningkatkan kemampuan dan
motivasi kerja guru, kualitas pembelajaran akan meningkat. 
Sedangkan
menurut Sergiovanni (1987) ada tiga tujuan supervisi akademik, yaitu:
a)   
Supervisi akademik diselenggarakan dengan
maksud membantu guru mengembangkan kemampuannya profesionalnnya dalam memahami
akademik, kehidupan kelas, mengembangkan keterampilan mengajarnya dan
menggunakan kemampuannya melalui teknik-teknik tertentu.
b)  
Supervisi akademik diselenggarakan dengan
maksud untuk memonitor kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kegiatan memonitor
ini bisa dilakukan melalui kunjungan kepala sekolah ke kelas-kelas di saat guru
sedang mengajar, percakapan pribadi dengan guru, teman sejawatnya, maupun
dengan sebagian murid-muridnya.
c)   
Supervisi akademik diselenggarakan untuk
mendorong guru menerapkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas
mengajarnya, mendorong guru mengembangkan kemampuannya sendiri, serta mendorong
guru agar ia memiliki perhatian yang sungguh-sungguh (commitment)
terhadap tugas dan tanggung jawabnya.
Menurut
Alfonso, Firth, dan Neville (1981) supervisi akademik yang baik adalah
supervisi  yang mampu berfungsi mencapai multi tujuan tersebut di atas. Tidak ada
keberhasilan bagi supervisi akademik jika hanya memperhatikan salah satu tujuan tertentu dengan
mengesampingkan tujuan lainnya. Hanya dengan merefleksi ketiga tujuan inilah
supervisi akademik akan berfungsi mengubah perilaku mengajar guru. Pada
gilirannya nanti perubahan perilaku guru ke arah yang lebih berkualitas akan
menimbulkan perilaku belajar murid yang lebih baik. Alfonso, Firth, dan Neville
(1981) mengemukakan bahwa perilaku supervisi akademik secara langsung
berhubungan dan berpengaruh terhadap perilaku guru. 
Hal
ini berarti, melalui supervisi akademik, supervisor mempengaruhi perilaku
mengajar guru sehingga perilakunya semakin baik dalam mengelola proses belajar
mengajar. Selanjutnya perilaku mengajar guru yang baik itu akan mempengaruhi
perilaku belajar murid. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa tujuan akhir
supervisi akademik adalah terbinanya perilaku belajar murid yang lebih baik.
Berkaitan 
dengan prinsip-prinsip supervisi akademik, akhir-akhir ini, beberapa literatur
telah banyak mengungkapkan teori supervisi akademik sebagai landasan bagi
setiap perilaku supervisi akademik. Beberapa istilah, seperti demokrasi (democratic),
kerja kelompok (team effort), dan proses kelompok (group process)
telah banyak dibahas dan dihubungkan dengan konsep supervisi akademik. 
Pembahasannya semata-mata
untuk menunjukkan kepada kita bahwa perilaku supervisi akademik itu harus
menjauhkan diri dari sifat otoriter, di mana supervisor sebagai atasan dan guru
sebagai bawahan. Begitu pula dalam latar sistem persekolahan, keseluruhan
anggota (guru) harus aktif berpartisipasi, bahkan sebaiknya sebagai prakarsa,
dalam proses supervisi akademik, sedangkan supervisor merupakan bagian
darinya.  Semua ini merupakan prinsip-prinsip supervisi akademik modern
yang harus direalisasikan pada setiap proses supervisi akademik di
sekolah-sekolah.
c.    Prinsip Dalam Supervisi Akademik
Ada
beberapa prinsip lain yang harus diperhatikan dan direalisasikan oleh
supervisor dalam melaksanakan supervisi akademik. Prinsip tersebut menurut
Sudrajat (2010), yaitu antara lain meliputi:
1)  
Supervisi akademik harus mampu menciptakan
hubungan kemanusiaan yang harmonis. Hubungan kemanusiaan yang harus diciptakan
harus bersifat terbuka, kesetiakawanan, dan informal. Hubungan demikian ini
bukan saja antara supervisor dengan guru, melainkan juga antara supervisor
dengan pihak lain yang terkait dengan program supervisi akademik. Oleh sebab
itu, dalam pelaksanaannya supervisor harus memiliki sifat-sifat, seperti sikap
membantu, memahami, terbuka, jujur, ajeg, sabar, antusias, dan penuh humor
(Dodd, 1972).
2)  
Supervisi akademik harus dilakukan secara
berkesinambungan. Supervisi akademik bukan tugas bersifat sambilan yang hanya
dilakukan sewaktu-waktu jika ada kesempatan. Perlu dipahami bahwa supervisi
akademik merupakan salah satu essential function dalam keseluruhan
program sekolah (Alfonso dkk., 1981 dan Weingartner, 1973). Apabila guru telah
berhasil mengembangkan dirinya tidaklah berarti selesailah tugas supervisor,
melainkan harus tetap dibina secara berkesinambungan. Hal ini logis, mengingat
problema proses pembelajaran selalu muncul dan berkembang.
3)  
Supervisi akademik harus demokratis.
Supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan supervisi akademiknya. Titik
tekan supervisi akademik yang demokratis adalah aktif dan cooperative. Supervisor harus melibatkan secara aktif guru yang
dibinanya. Tanggung jawab perbaikan program akademik bukan hanya pada
supervisor melainkan juga pada guru. Oleh sebab itu, program supervisi akademik
sebaiknya direncanakan, dikembangkan dan dilaksanakan bersama secara cooperative dengan guru, kepala sekolah,
dan pihak lain yang terkait di bawah koordinasi supervisor.
4)  
Program supervisi akademik harus integral
dengan program pendidikan. Di dalam setiap organisasi pendidikan terdapat
bermacam-macam sistem perilaku dengan tujuan sama, yaitu tujuan pendidikan.
Sistem perilaku tersebut antara lain berupa sistem perilaku administratif,
sistem perilaku akademik, sistem perilaku kesiswaan, sistem perilaku
pengembangan konseling, sistem perilaku supervisi akademik (Alfonso, dkk.,
1981). Antara satu sistem dengan sistem lainnya harus dilaksanakan secara
integral. Dengan demikian, maka program supervisi akademik integral dengan
program pendidikan secara keseluruhan. Dalam upaya perwujudan prinsip ini
diperlukan hubungan yang baik dan harmonis antara supervisor dengan semua pihak
pelaksana program pendidikan (Dodd, 1972).
5)  
Supervisi akademik harus komprehensif,
program supervisi akademik harus mencakup keseluruhan aspek pengembangan
akademik, walaupun mungkin saja ada penekanan pada aspek-aspek tertentu
berdasarkan hasil analisis kebutuhan pengembangan akademik sebelumnya. Prinsip
ini tiada lain hanyalah untuk memenuhi tuntutan multi tujuan supervisi
akademik, berupa pengawasan kualitas, pengembangan profesional, dan memotivasi
guru.
6)  
Supervisi akademik harus konstruktif.
Supervisi akademik bukanlah sekali-kali untuk mencari kesalahan-kesalahan guru.
Memang dalam proses pelaksanaan supervisi akademik itu terdapat kegiatan
penilaian unjuk kerja guru, tetapi tujuannya bukan untuk mencari
kesalahan-kesalahannya. Supervisi akademik akan mengembangkan pertumbuhan dan
kreativitas guru dalam memahami dan memecahkan problem-problem akademik yang
dihadapi.
7)  
Supervisi akademik harus obyektif. Dalam
menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi, keberhasilan program supervisi
akademik harus obyektif. Objektivitas dalam penyusunan program berarti bahwa
program supervisi akademik itu harus disusun berdasarkan kebutuhan nyata
pengembangan profesional guru. Begitu pula dalam mengevaluasi keberhasilan
program supervisi akademik. Di sinilah letak pentingnya instrumen pengukuran
yang memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi untuk mengukur seberapa
kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran.
Supervisi
akademik yang baik harus mampu membuat guru semakin kompeten, yaitu guru
semakin menguasai kompetensi, baik kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik,
kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Oleh karena itu, supervisi
akademik harus menyentuh pada pengembangan seluruh kompetensi
guru. Menurut Neagley (1980) terdapat dua aspek yang harus menjadi
perhatian supervisi akademik baik dalam perencanaannya, pelaksanaannya, maupun
penilaiannya.
Pertama,
apa yang disebut dengan substantive aspects of professional development
(yang selanjutnya akan disebut dengan aspek substantif). Aspek ini menunjuk
pada kompetensi guru yang harus dikembangkan melalui supervisi akademik. Aspek
ini menunjuk pada kompetensi yang harus dikuasai guru. Penguasaannya merupakan
sokongan terhadap keberhasilannya mengelola proses pembelajaran. Ada empat
kompetensi guru yang harus dikembangkan melalui supervisi akademik, yaitu yaitu
kompetensi-kompetensi kepribadian, pedagogik, professional, dan sosial. Aspek
substansi pertama dan kedua merepresentasikan nilai, keyakinan, dan teori yang
dipegang oleh guru tentang hakikat pengetahuan, bagaimana murid-murid belajar,
penciptaan hubungan guru dan murid, dan faktor lainnya. Aspek ketiga berkaitan
dengan seberapa luas pengetahuan guru tentang materi atau bahan pelajaran pada
bidang studi yang diajarkannya.
Kedua,
apa yang disebut dengan professional development competency areas (yang
selanjutnya akan disebut dengan aspek kompetensi). Aspek ini menunjuk pada
luasnya setiap aspek substansi. Guru tidak berbeda dengan kasus profesional
lainnya. Ia harus mengetahui bagaimana mengerjakan (know how to do)
tugas-tugasnya. Ia harus memiliki pengetahuan tentang bagaimana merumuskan
tujuan akademik, murid-muridnya, materi pelajaran, dan teknik akademik. Tetapi,
mengetahui dan memahami keempat aspek substansi ini belumlah cukup. Seorang
guru harus mampu menerapkan pengetahuan dan pemahamannya. Dengan kata lain, ia
harus bisa mengerjakan (can do). Selanjutnya, seorang guru harus mau
mengerjakan (will do) tugas-tugas berdasarkan kemampuan yang
dimilikinya. Percumalah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh seorang
guru, apabila ia tidak mau mengerjakan tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya.
2.    Kinerja
Guru dan Indikatornya
Istilah
kinerja dapat diterjemahkan sebagai perfomance atau unjuk kerja, artinya
kemampuan yang ditampilkan seseorang terhadap pekerjaannya pada tempat dimana
ia bekerja. Menurut Fattah (1996) kinerja diartikan sebagai ungkapan kemajuan
yang didasari oleh pengetahuan, sikap, keterampilan dan motivasi dalam
menghasilkan suatu pekerjaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja
adalah hasil kerja seseorang yang mencerminkan prestasi kerja sebagai ungkapan
pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Menurut
Supriadi (1998) kinerja guru akan menjadi lebih baik, bila seorang guru
memiliki empat hal yakni:
a.   
Mempunyai komitmen pada siswa dan proses
belajarnya. 
b.   
Menguasai secara mendalam bahan mata
pelajaran yang akan diajarkan serta cara mengajarnya kepada siswa.
c.   
Bertanggung jawab memantau hasil belajar
siswa melalui berbagai cara evaluasi.
d.  
Guru mampu berpikir sistematis tentang apa
yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya.
Lebih
lanjut Hamalik (2002) kemampuan dasar yang disebut juga kinerja dari seorang
guru terdiri dari: 
a.   
Kemampuan
merencanakan pembelajaran.
b.   
Kemampuan
mengelola program belajar mengajar.
c.   
Kemampuan
mengelola kelas.
d.  
Kemampuan
 menggunakan media belajar.
e.   
Kemampuan
menglola interaksi belajar mengajar.
f.    
Mampu
melaksanakan evaluasi belajar siswa.
Kinerja
guru sangat terkait dengan efektifitas guru dalam melaksanakan fungsinya oleh
Medley dalam Depdikbud (1984) dijelaskan bahwa efektifitas guru yaitu:
a.   
Memiliki
pribadi kooperatif, daya tarik, penampilan amat besar, pertimbangan dan
kepemimpinan.
b.   
Menguasai
metode mengajar yang baik.
c.   
Memiliki
tingkah laku yang baik saat mengajar.
d.  
Menguasai
berbagai kompetensi dalam mengajar.
Evaluasi
kinerja guru mutlak dilakukan, karena masih terdapat banyak kinerja guru yang
kurang memadai, disamping itu guru dituntut dapat mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni yang terus berkembang pula dengan pesat.
Istilah kinerja berasal dari bahasa inggris yaitu Performance, berarti hasil
kena atau unjuk kerja yang dicapai seseorang atau sekelompok orang/ organisasi tertentu. Istilah kinerja dapat
diterjemahkan dalam unjuk kerja, artinya kemampuan yang ditampilkan seseorang
terhadap pekerjaannya di tempat ia bekerja. Kinerja merupakan suatu hal yang
sangat esensial terhadap keberhasilan suatu pekerjan. Pada hakikatnya orang
bekerja untuk memenuhi kebutuhan atas dorongan tertentu. Kebuituhan dipandang
sebagai penggerak atau pembangkit perilaku, sedanghkan tujuannya berfungsi
untuk menggerakkan perilaku. Karena itu suatu kinerja yang efektif bagi setiap
individu, perlu diciptakan
sehingga tujuan lembaga dapat tercapai secara optimal.
Widyastono
(1999) berpendapat bahwa terdapat empat gugus yang erat kaitannya dengan kinerja
guru, yaitu: 
a.   
Kemampuan merencanakan
KBM.
b.   
Melaksanakan
KBM.
c.   
Melaksanakan
hubungan antar pribadi.
d.  
Mengadakan
penilaian.
Sedangkan
Suyud (2005) mengembangkan kinerja guru profesional meliputi: 
a.   
Penguasaan
bahan ajar.
b.   
Pemahaman
karakteristik siswa.
c.   
Penguasaan
pengelolaan kelas.
d.  
Penguasaan
metode dan strategi pembelajaran.
e.   
Penguasaan
evaluasi pembelajaran.
f.    
Kepribadian.
Dari
pendapat tersebut diatas, maka yang dimaksud dengan kinerja guru dalam
penelitian ini ialah: 
a.    Penguasaan bahan ajar.
b.    Pemahaman karakteristik.
c.    Penguasaan pengeloaan kelas.
d.   Penguasaan metode dan strategi pembelajaran.
e.    Penguasaan evaluasi pembelajaran.
f.     Kepribadian.   
3.    Pembelajaran
a.   
Pengertian Pembelajaran
Ada
beberapa pengertian pembelajaran menurut para ahli, diantaranya Syaiful Sagala
(2009) pembelajaran adalah “membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan
maupun teori belajar yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan”.
Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah. Mengajar dilakukan pihak
guru sebagai pendidik., sedangkan belajar oleh peserta didik. Sedangkan menurut
Corey pembelajaran
adalah suatu proses dimana lingkungan seeorang secara disengaja dikelola untuk
memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku dalam kondisi khusus atau
menghasilkan respon terhadap situasi tertentu.
Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah
“proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar”. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh
guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan
berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkontruksikan pengetahuan
baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.
Oemar Hamalik juga
memberikan pendapat bahwa pembelajaran adalah “suatu kombinasi yang
tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material fasilitas, perlengkapan dan
prosedur yang saling mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran”. Dari beberapa
teori yang dikemukakan para ahli diatas tentang pembelajaran, Oemar Hamalik
mengemukakan 3 (tiga) rumusan yang dianggap lebih maju, yaitu:
1)   Pembelajaran
adalah upaya mengorganisasikan lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar
bagi peserta didik.
2)   Pembelajaran
adalah upaya mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga masyarakat yang
baik.
3)   Pembelajaran
adalah suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dalam
istilah “pembelajaran”
lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil teknologi yang dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa diposisikan sebagai subyek
belajar yang memegang peranan utama sehingga dalam setting proses
mengajar siswa dituntut beraktifitas secara penuh, bahkan secara individual
mempelajari bahan pelajaran. Dengan demikian, kalau dalam istilah “mengajar”
(pengajaran) atau “teaching” menempatkan guru sebagai “pemeran utama”
memberikan informasi, maka dalam “instruction” guru lebih banyak
berperan sebagai fasilitator, memanage berbagai sumber dan
fasilitas untuk dipelajari siswa.
Bertolak
dari pengertian pengajaran yang dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran
yakni seperangkat peristiwa yang dapat mempengaruhi objek didik sedemikian rupa
sehingga proses belajar mengajar dapat terjadi (Gagne, 1988), Sunaryo (1989: 67) mengatakan bahwa
“guru perlu memiliki kemampuan membuat perencanaan pembelajaran berupa desain
pembelajaran”. Desain yang dirancang oleh guru diarahkan agar siswa sebagai
peserta didik dapat mencapai tingkat belajar yang seoptimal mungkin yang ditandai
dengan tercapainya prestasi belajar siswa.
b.  
 Tujuan Pembelajaran
Salah
satu sumbangan terbesar dari aliran psikologi behaviorisme terhadap
pembelajaran bahwa pembelajaran seyogyanya memiliki tujuan. Gagasan perlunya
tujuan dalam pembelajaran pertama kali dikemukakan oleh B.F. Skinner pada tahun
1950.  
Kemudian
diikuti oleh pendapat Robert Mager pada tahun 1962 yang dituangkan dalam
bukunya yang berjudul Preparing Instruction Objective. Merujuk pada tulisan
karya Hamzah B. Uno tahun 2008 berikut ini dikemukakan beberapa pengertian yang
dikemukakan oleh para ahli. Robert F. Mager (1962) mengemukakan bahwa tujuan
pembelajaran adalah perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan
oleh siswa pada kondisi dan tingkat kompetensi tertentu.  Kemp dan David
E. Kapel menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran suatu pernyataan yang spesifik
yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk
tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan.
Henry
Ellington mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran adalah pernyataan yang
diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar. Sementara itu, Oemar Hamalik
(2005) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran adalah suatu deskripsi mengenai
tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsung
pembelajaran. Meski para ahli memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang
beragam, tetapi semuanya menunjuk pada esensi yang sama, bahwa :
1)   Tujuan
pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada siswa
setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
2)   Tujuan
dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik. Menurut Kemp
dan David E. Kapel bahwa perumusan tujuan pembelajaran harus diwujudkan dalam
bentuk tertulis. Hal ini mengandung implikasi bahwa setiap perencanaan pembelajaran
seyogyanya dibuat secara tertulis.
c.   
Manfaat Tujuan Pembelajaran
Dalam
Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses disebutkan bahwa
tujuan pembelajaran memberikan petunjuk untuk memilih isi mata pelajaran,
menata urutan topik-topik, mengalokasikan waktu, petunjuk dalam memilih
alat-alat bantu pengajaran dan prosedur pengajaran, serta menyediakan ukuran
(standar) untuk mengukur prestasi belajar siswa.
Upaya
merumuskan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu, baik bagi guru
maupun siswa. Nana Syaodih Sukmadinata (2002) mengidentifikasi 4 (empat)
manfaat dari tujuan pembelajaran, yaitu:
1)   Memudahkan
dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan belajar mengajar kepada siswa, sehingga
siswa dapat melakukan perbuatan belajarnya secara lebih mandiri.
2)   Memudahkan
guru memilih dan menyusun bahan ajar.
3)   Membantu
memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media pembelajaran.
4)   Memudahkan
guru mengadakan penilaian.
d.  
Rumusan Tujuan Pembelajaran
Seiring
dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, saat ini telah
terjadi pergeseran dalam perumusan tujuan pembelajaran. W. James Popham dan Eva
L. Baker (2005) mengemukakan pada masa lampau guru diharuskan menuliskan tujuan
pembelajarannya dalam bentuk bahan yang akan dibahas dalam pelajaran, dengan
menguraikan topik-topik atau konsep-konsep yang akan dibahas selama
berlangsungnya kegiatan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran pada masa lalu ini tampak lebih mengutamakan pada pentingnya penguasaan bahan bagi siswa dan pada umumnya yang dikembangkan melalui pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered). Namun seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, tujuan pembelajaran yang semula lebih memusatkan pada penguasaan bahan, selanjutnya bergeser menjadi penguasaan kemampuan siswa atau biasa dikenal dengan sebutan penguasaan kompetensi atau performansi.
Tujuan pembelajaran pada masa lalu ini tampak lebih mengutamakan pada pentingnya penguasaan bahan bagi siswa dan pada umumnya yang dikembangkan melalui pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered). Namun seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, tujuan pembelajaran yang semula lebih memusatkan pada penguasaan bahan, selanjutnya bergeser menjadi penguasaan kemampuan siswa atau biasa dikenal dengan sebutan penguasaan kompetensi atau performansi.
Dalam
praktik pendidikan di Indonesia, pergeseran tujuan pembelajaran ini
terasa  lebih mengemuka sejalan dengan munculnya gagasan penerapan Kurikulum 
Berbasis Kompetensi. Selanjutnya, W. James Popham dan Eva L. Baker (2005)
menegaskan bahwa seorang guru profesional harus merumuskan tujuan
pembelajarannya dalam bentuk perilaku siswa yang dapat diukur yaitu menunjukkan
apa yang dapat dilakukan oleh siswa tersebut sesudah mengikuti pelajaran.
Dalam
sebuah perencanaan pembelajaran tertulis (written plan/ RPP), untuk merumuskan tujuan pembelajaran
tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa kaidah
atau kriteria tertentu.
James
Popham dan Eva L. Baker (2005) menyarankan dua kriteria yang harus
dipenuhi dalam memilih tujuan pembelajaran, yaitu:
1)   Preferensi
nilai guru yaitu cara pandang dan keyakinan guru mengenai apa yang
penting dan seharusnya diajarkan kepada siswa serta bagaimana cara
membelajarkannya.
2)   Analisis
taksonomi perilaku sebagaimana dikemukakan oleh Bloom di
atas. Dengan menganalisis taksonomi perilaku ini, guru akan dapat menentukan
dan menitikberatkan bentuk dan jenis pembelajaran yang akan dikembangkan,
apakah seorang guru hendak menitikberatkan pada pembelajaran kognitif, afektif
ataukah psikomotor.
Rumusan tujuan merupakan pernyataan
tentang hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh setiap siswa. Lebih
tepatnya, kemampuan baru apa yang seharusnya dikuasai siswa pada akhir
pelajaran. Rumusan tujuan bukan merupakan pernyataan tentang apa yang
direncanakan guru untuk dilaksanakan dalam pembelajaran tetapi tentang apa yang
seharusnya siswa peroleh dari suatu pelajaran.
e.   
Format ABCD Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran yang dinyatakan
dengan baik mulai dengan menyebut audience peserta didik untuk siapa tujuan itu
dimaksudkan. Tujuan itu kemudian mencantumkan atau kemampuan yang
harus didemonstrasikan dan conditions seperti apa perilaku atau
kemampuan yang akan diamati. Kemudian mencantumkan degree
keterampilan baru itu harus dicapai dan diukur, yaitu dengan standar seperti
apa kemampuan itu dapat dinilai.
f.    
Audience
Premis utama pengajaran sistematik
adalah fokus pada apa yang dilakukan siswa, bukan apa yang dilakukan guru.
Pembelajaran paling mungkin terjadi bila siswa aktif, baik secara mental
memproses ide-ide atau secara fisik berlatih keterampilan. Karena tercapainya
tujuan bergantung kepada apa yang dilakukan siswa, maka tujuan pembelajaran
mulai dengan menyatakan kemampuan siapa yang akan berubah, sebagai misal,
“siswa kelas-sembilan” atau “peserta workshop pembelajaran inovatif.”
g.   
Behavior
Inti
tujuan pembelajaran adalah kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan baru yang
akan dimiliki audience setelah pengajaran. Kata kerja dapat paling jelas
mengarahkan perhatian guru jika kata kerja itu dinyatakan sebagai perilaku yang
dapat diamati. 
Kata kerja yang kabur seperti mengetahui, memahami dan mengapresiasi
tidak mengkomunikasikan tujuan guru dengan jelas. Kata-kata yang lebih baik menyatakan
kinerja yang diamati meliputi mendefinisikan, mengkategorikan, dan mendemonstrasikan.
Behavior atau kinerja yang
dinyatakan dalam tujuan seharusnya mencerminkan kemampuan dunia nyata yang
dibutuhkan oleh siswa, bukan kemampuan artifisial atau tidak nyata/ buatan semata-mata untuk berhasil dalam
tes.
h.  
Condition
Pernyataan tujuan seharusnya
memasukkan kondisi-kondisi saat siswa melakukan kinerja yang dievaluasi.
Sebagai misal, apakah siswa diijinkan untuk menggunakan catatan atau membuka
buku saat mengidentifikasi variabel dalam sebuah hipotesis. Jika
tujuan dari pelajaran tertentu adalah agar siswa dapat mengidentifikasi
burung-burung, apakah identifikasi dilakukan dari sejumlah transparansi
berwarna atau sejumlah foto hitam putih? Jadi sebuah tujuan dapat
dinyatakan, “Diberikan sejumlah transparansi berwarna, siswa dapat
mengidentifikasi burung-burung itu.” Atau contoh lain, “Tanpa
membuka buku, siswa dapat menyebutkan Hukum Ohm.”
i.     
Degree
Persyaratan terakhir tujuan pembelajaran
yang dirumuskan dengan baik adalah rumusan itu menunjukkan standar, atau
kriteria, yaitu kriteria yang digunakan untuk menilai kinerja
siswa. Misalnya tingkat kecermatan atau ketuntasan seperti apa yang harus
diperagakan siswa?. Apakah kriteria itu dinyatakan dalam istilah kualitatif
atau kuantitatif, kriteria itu seharusnya didasarkan pada persyaratan dunia
nyata. 
j.    
Memilih dan Menentukan Materi Pembelajaran
Materi
pembelajaran pada standar kompetensi dan kompetensi dasar ( SKKD ) setiap
kelompok mata pelajaran perlu dibatasi, mengingat prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum dan dan pemilihan bahan pembelajaran terlalu luas dan kompleks. 
Dalam
memilih dan menentukan materi pembelajaran beberapa hal yang perlu dilakukan
menurut Mulyasa, E (2007) adalah sebagai berikut:
1)   Orientasi pada tujuan dan kompetensi
Pengembangan materi harus diarahkan
untuk mencapai tujuan dan membentuk kompetensi peserta didik. Seperti telah
dikemukakan, tujuan pendidikan nasional itu dijabar ke dalam standar isi,
standar kompetensi, dan kompetensi dasar, yang perlu dijabarkan lagi oleh guru
ke dalam indikator kompetensi.
2)  
Kesesuaian (relevansi)
Materi pembelajaran harus sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, tingkat perkembangan peserta didik,
kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, serta perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
3)  
Efisien dan efektif
Materi pembelajaran disusun dengan mempertimbangkan
prinsip efisiensi dalam pendayagunaan dana, waktu, tenaga, dan sumber lain yang
tersedia di sekolah agar dapat mencapai hasil optimal, di samping meningkatkan
efektivitas atau keberhasilan peserta didik.
4)  
Fundamental
Harus mengutamakan materi
pembelajaran yang fundamental, esensial, atau potensial, artinya materi
pembelajaran yang paling mendasar untuk membentuk kompetensi peserta didik,
sehingga bahan-bahan lain di luar itu akan mudah diserap, karena merupakan
landasan untuk penguasaan SKKD dan bidang studi lain.
5)  
Keluwesan
Materi pembelajaran yang luwes
sehingga mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi atau dikurangi berdasarkan
tuntutan keadaan dan kemampuan setempat, serta dapat disesuikan pula dengan
hal-hal yang hangat atau aktual di masyarakat sekitar sekolah. 
6)  
Berkesinambungan dan seimbang
Materi pembelajaran disusun secara
berkesinambungan sehingga setiap aspeknya tidak terlepas-lepas, tetapi
mempunyai hubungan fungsional dan bermakna; disamping secara berimbang, baik
antara materi pembelajaran sendiri, antara keluasan dan kedalamannya, maupun
antara teroi dan praktik, sehingga diharapkan terjalin perpaduan yang lengkap
dan menyeluruh. 
7)  
Validitas
Validitas (validity) atau tingkat
ketepatan materi. Sebelum memberikan materi pelajaran seorang guru harus yakin
bahwa materi yang diberikan telah teruji kebenarannya. Artinya guru harus
menghindari memberikan materi (data, dalil, teori, konsep, dan sebagainya) yang
sebenarnya masih dipertanyakan atau 166 masih diperdebatkan. Hal ini untuk menghindari
salah konsep, salah tafsir atau salah pemakaian.
8)  
Keberartian
Keberartian atau tingkat
kepentingan materi tersebut dikaitkan dengan kebutuhan dan kemampuan peserta
didik. Materi pelajaran yang diberikan harus relevan dengan keadaan dan
kebutuhan peserta didik. Sehingga materi yang diajarkan bermanfaat bagi peserta
didik. Kebermanfaatan tersebut diukur dari keterpakaian dalam pengembangan
kemampuan akademik pada jenjang selanjutnya dan keterpakaiannya sebagai bekal
untuk hidup sehari-hari sehingga dalam mempelajarai materi tersebut, peserta
didik memiliki kepercayaan bahwa mereka akan mendapat penghargaan nantinya.
9)  
Relevansi
Relevansi (relevance) dengan
tingkat kemampuan peserta didik, artinya tidak terlalu sulit, tidak terlalu
mudah dan disesuaikan dengan variasi lingkungan setempat dan kebutuhan di
lapangan pekerjaan serta masyarakat pengguna saat ini dan yang akan datang.
10)    
Kemenarikan
Kemenarikan (interest), pengertian
menarik di sini bukan hanya sekedar menarik perhatian peserta didik pada saat
mempelajari suatu materi pelajaran. Lebih dari itu materi yang diberikan
hendaknya mampu memotivasi peserta didik sehingga peserta didik mempunyai minat
untuk mengenali dan mengembangkan keterampilan lebih lanjut dan lebih mendalam
dari apa yang diberikan melalui proses belajar mengajar di sekolah.
11)    
Kepuasan
Kepuasan (Satisfaction) kepuasan
yang di maksud merupakan hasil pembelajaran yang diperoleh peserta didik antiny
benar-benar bermanfaat bagi kehidupannya, dan peserta didik benar-benar dapat
bekerja dengan menggunakan dan megamalkan ilmu yang diperoleh tersebut. Dengan
memperoleh nilai/ insentif yang sangat berarti bagi kehidupannya di masa depan.
4.    Kerangka
Berfikir
Daur
penelitian yang dilakukan pada pendapat pakar, Rusna Ristata (2007: 7-8)
menyebutkan bahwa penelitian tindakan Sekolah dilaksanakan melalui proses
pengkajian berdaur, yang terdiri dari empat tahap yaitu Perencanaan (planning),
Pelaksanaan (action), Observasi (observation), dan Refleksi (reflection).
Hasil
refleksi terhadap tindakan yang dilaksanakan akan digunakan untuk merevisi
rencana jika ternyata tindakan yang dilakukan belum berhasil memecahkan masalah
seperti tampak pada gambar berikut:
Gambar 2.1. Siklus Penelitian
Dari
siklus di atas dapat dijelaskan bahwa kegiatan penelitian diawali dengan
kegiatan perencanaan, kegiatan ini menentukan rencana proses kegiatan yang akan
dilaksanakan, misalnya menyusun Rencana Pelaksanaan Monitoring, penentuan alat
dan media, menyusun instrument penilaian, menetukan observasi, hal sejenis yang
membantu penelitian.
Dari
perencanaan dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan yang merupakan tindakan proses
supervisi sesuai dengan rencana yang telah disiapkan. Selanjutnya selama
kegiatan pelaksanaan berlangsung perlu observasi/ diamati
untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kualitasnya.
Dari
kegiatan pengamatan maka akan dapat dilihat dan ditentukan apakah perlu
mengadakan perbaikan-perbaikan dari tindakan-tindakan yang telah dilaksanakan
agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Kegiatan ini masuk kedalam tahap
pengamatan. Hasil pengamatan kemudian didiskusikan dengan pengawas lain sebagai
tindakan refleksi.
Refleksi
dilakukan dengan cara merenungkan kembali proses pendekatan familier yang telah
dilaksanakan. Kelebihan dan kekurangannya, baik bagi kepala sekolah maupun bagi
guru perlu segera diperbaiki kembali pada siklus berikutnya. Siklus berikutnya
didesain kembali untuk meminimalisir kelemahan seperti pada siklus sebelumnya. 
5.    Hipotesis
Tindakan 
Didasari
oleh teori para pakar dan kerangka berfikir yang telah diuraikan di atas maka
hipotesa peneliti terhadap penentuan materi pelajaran adalah bahwa supervisi
akademik yang dilaksanakan oleh Kepala SD Negeri Malabar 05 UPT Disdikpora
Kecamatan Wanareja dapat meningkatkan pemahaman guru dalam menentukan materi
pelajaran.
0 Response to "Yang Ada Dalam Bab II Penelitian"
Post a Comment